EMOSI DAN ARTIKULASI DIRI


Anda, saya, ataupun siapa saja tentu pernah mengalaminya. Dalam merespon sebuah diskusi, terkadang kita langsung bersikap reaksioner. Tersinggung, mudah marah atau bahkan mengancam. Mengedepankan emosi daripada meresapi.

Mengedepankan naluri dari pada empati. Padahal, andaikata semua orang bisa memahami satu sama lain. Saling berempati satu sama lain, niscaya (konflik) itu tidak akan pernah terjadi.

Emosi adalah bagian dari sebuah ekspresi. Emosi juga bisa saya maknai sebagai wujud dari aktualisasi diri yang “tidak tuntas” –lebih bersifat negatif. Sama-sama bentuk dari aktualisasi diri, mungkin hanya berbeda pada tataran proses, dengan orang yang bisa berekspresi menggunakan opini (wacana).

Jadi, ketika seseorang itu emosi dalam berdiskusi, sebenarnya itu menunjukkan bahwa ada “problem” dengan orang tersebut, yang berkenaan dalam proses mengartikulasikan dirinya untuk membangun sebuah opini. Dengan memahami demikian, bagi yang sudah bisa berdiskusi, beropini, maka seyogyanya dengan sabar bisa memahami orang-orang yang masih berada dalam tahap (tataran) emosi.

***

Dalam konteks pemahaman seperti itulah, yang kemudian seharusnya dijadikan pijakan untuk mengkritik –sekaligus memberikan saran

Misalnya: munculnya fenomena Pasukan Berani Mati (PBM) ketika Gus Dur akan dijatuhkan. Juga aksi-aksi massa Front Pembela Islam (FPI) dan Laskar Jihad yang cenderung merusak, dan aksi-aksi membakar buku-buku –yang dianggap “kiri”, yang dilakukan oleh Eurico Guetteres dkk tempo hari.

Munculnya fenomena seperti itu, harusnya bisa dipahami sebagai: pertama, pembodohan elite pada umat. Terjadi disinformasi dari kalangan pemimpin kepada umatnya.

Wawasan dan pengetahuan umat yang terbatas –kalau tidak boleh dikatakan terbelakang, dimanfaatkan untuk kepentingan elite. Itu juga menunjukkan, ada problem artikulasi diri pada mereka, sehingga bisa dimanfaatkan oleh kalangan elite politik, hingga kemudian muncullah vonis “komunis”, “anarkhis” dll terhadap kelompok yang mereka anggap lawan.

Kedua, bagi yang sudah pandai beropini (media massa, elite lawan politik, provokator dll), tidaklah perlu memojokkan mereka yang masih menggunakan cara-cara emosi untuk menyelesaikan masalah. Sesungguhnya, emosi yang mereka lakukan itu, menunjukkan ketidakmampuan untuk menuntaskan masalah melalui mekanisme intelektual (diskusi, berdebat, berbeda pendapat dll) dan cara-cara yang beradab (via wakil rakyat, aparat penegak hukum, forum diskusi dll).

Padahal, seharusnya masalah yang “tidak tuntas” itu menjadi kewajiban bersama; baik oleh yang sudah mengerti, ataupun bagi yang masih suka menggunakan instrumen emosi. Karena dengan begitu, beda pendapat di negeri ini akan berlangsung dengan sangat demokratis dan santun.

Semoga bermamfaat.!.

5 responses to this post.

  1. walaupun kesabaran ada batasnya, setidaknya sabar adalah melati diri untuk selalu bersikap bijak dn tak mementingkan dri

    Reply

  2. Posted by erny erlina on July 21, 2010 at 10:17 pm

    Kata emosi berasal dari bahasa latin, yaitu emovere, yang berarti bergerak menjauh. Arti kata ini menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi.
    emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Emosi pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak. Biasanya emosi merupakan reaksi terhadap rangsangan dari luar dan dalam diri individu. Sebagai contoh emosi gembira mendorong perubahan suasana hati seseorang, sehingga secara fisiologi terlihat tertawa, emosi sedih mendorong seseorang berperilaku menangis.
    Emosi berkaitan dengan perubahan fisiologis dan berbagai pikiran. Jadi, emosi merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan manusia, karena emosi dapat merupakan motivator perilaku dalam arti meningkatkan, tapi juga dapat mengganggu perilaku intensional manusia.

    Reply

  3. beberapa macam emosi yang tidak berbeda jauh dengan kedua tokoh di atas, yaitu :
    a. Amarah : beringas, mengamuk, benci, jengkel, kesal hati
    b. Kesedihan : pedih, sedih, muram, suram, melankolis, mengasihi diri, putus asa
    c. Rasa takut : cemas, gugup, khawatir, was-was, perasaan takut sekali, waspada, tidak tenang, ngeri
    d. Kenikmatan : bahagia, gembira, riang, puas, riang, senang, terhibur, bangga
    e. Cinta : penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati, rasa dekat, bakti, hormat, kemesraan, kasih
    f. Terkejut : terkesiap, terkejut
    g. Jengkel : hina, jijik, muak, mual, tidak suka
    h. malu : malu hati, kesal

    Reply

  4. semua emosi pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak. Jadi berbagai macam emosi itu mendorong individu untuk memberikan respon atau bertingkah laku terhadap stimulus yang ada.
    Dalam the Nicomachea Ethics pembahasan Aristoteles secara filsafat tentang kebajikan, karakter dan hidup yang benar, tantangannya adalah menguasai kehidupan emosional kita dengan kecerdasan. Nafsu, apabila dilatih dengan baik akan memiliki kebijaksanaan; nafsu membimbing pemikiran, nilai, dan kelangsungan hidup kita. Tetapi, nafsu dapat dengan mudah menjadi tak terkendalikan, dan hal itu seringkali terjadi. Menurut Aristoteles, masalahnya bukanlah mengenai emosionalitas, melainkan mengenai keselarasan antara emosi dan cara mengekspresikan.
    Menurut Mayer (Goleman) orang cenderung menganut gaya-gaya khas dalam menangani dan mengatasi emosi mereka, yaitu : sadar diri, tenggelam dalam permasalahan, dan pasrah. Dengan melihat keadaan itu maka penting bagi setiap individu memiliki kecerdasan emosional agar menjadikan hidup lebih bermakna dan tidak menjadikan hidup yang di jalani menjadi sia-sia.

    Reply

  5. nice post,,

    emosi diri juga bisa menunjukkan tingkat kedewasaan seseorang.

    tapi perlu juga dicermati bahwa emosi merupakan unsur yang pasti ada dalam diri manusia dan terkadang untuk kondisi tertentu emosi justru akan membawa kebaikan.

    Reply

Leave a comment